Header Ads

Beriklan

Mengatasi Anak yang Tantrum

Manusia adalah makhluk sosial, bahkan sejak seorang manusia itu berusia balita. Setidaknya ia bergaul (bersosialisasi) dengan pengasuhnya dan orang-orang sekeliling. Dalam dinamika interaksi sosialnya, tentu setiap orang akan mengalami perubahan emosi seiring dengan hukum aksi-reaksi. Anak balita yang memperoleh sesuatu yang mengecewakan hati maka bangkitlah emosi marah dan sedihnya. Pada akhirnya tantrum pun tak dapat terhindarkan.

Temper tantrum atau yang kerap disingkat ‘tantrum’ adalah gejala emosi yang muncul dalam bentuk perilaku agresif yang tak terkendali. Tantrum biasanya dialami oleh anak usia balita. Saat mengalami tantrum ini, anak akan mengekspresikan emosinya dengan cara yang memungkinkan seperti ngomel, menangis histeris, memukul, menendang, mengigit, berteriak hingga membanting sesuatu. Tantrum terkadang juga dapat diekspresikan secara pasif dengan cara menarik diri dan ngambek.


Latar belakang luapan emosi

Saat usia anak 0-3 tahun mereka belajar bersosialisasi dan seringkali menghadapi keinginan-keinginan yang tak dapat terpenuhi secara langsung. Rasa kecewa, marah, dan  sedih pun acapkali timbul dan ini merupakan hal yang wajar. Namun, tanpa disadari orang tua berusaha mencegah emosi pada anak yang sedang timbul. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan perhatian, mengancam, atau memarahi anaknya agar emosi anak tidak lagi terekspresikan. Jika hal ini berlangsung terus menerus, dapat berakibat terjadinya akumulasi emosi. Akumulasi emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum.

Bagaimana mencegah tantrum?

Setelah kita memahami bahwa emosi merupakan hal yang wajar, orang tua disarankan agar memberi kesempatan kepada anak untuk menghayati dan merasakan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahannya. Hal ini berarti, saat anak menangis kecewa atau merasa sedih, orang tua berperan untuk mendampingi, memeluk (bila perlu) dan memberikan empati kita atas perasaan yang sedang anak rasakan tanpa mempengaruhi  terlebih menghentikan emosi anak tersebut. Orang tua juga dapat mengajarkan anak bentuk atau ekspresi emosi yang menurut orang tua dapat diterima, misalnya boleh menangis tapi sambil memeluk orang tua, boleh marah tapi harus bilang keinginannya dengan pelan kepada orang tua, dan lain-lain. Dengan demikian, bentuk ekspresi emosi anak secara perlahan dapat terarah dan tersalurkan tanpa merugikan orang lain dan lebih mengedepankan pencarian solusi dan penyelesaian masalah.

Mengatasi tantrum

Jika suatu ketika ternyata temper tantrum telah muncul dan tak dapat terhindarkan dalam bentuk perilaku yang membahayakan dan berpotensi menimbulkan kerusakan maka tindakan intervensi harus segera dilakukan. Orang tua perlu berharap agar tantrum ini sudah hilang sebelum anak berusia 3 tahun. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan, anak yang makin bertambah usianya maka tenaganya pun makin kuat sehingga akan makin sulit bagi orang tua untuk mengendalikan atau mencegah tingkah lakunya yang tak terkendali. Selain itu, tantrum yang kuat dapat bersifat merusak baik secara fisik ataupun bentuk perilaku berbohong, menyalahkan orang lain, menutup diri, merebut milik orang lain secara paksa dan sebagainya. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan orang tua saat tantrum terjadi pada anak antara lain:
  1. Pegang anak erat-erat (tangan dan kaki) agar anak tidak dapat memukul/menendang dan melakukan hal berbahaya lain.
  2. Jangan ajak anak berkomunikasi hingga anak selesai dengan usahanya untuk memberontak (hal ini termasuk jangan berteriak untuk menyuruh anak berhenti).
  3. Dalam waktu 15-20 menit maka rata-rata anak akan merasa letih dan berangsur tenang. Saat itulah anak dapat diajak berbicara.
  4. Jelaskan mengapa kita memegangnya erat-erat dan mengapa kita tidak memenuhi permintaannya.
  5. Ajarkan kepada anak bagaimana lain kali nanti dapat menunjukkan kemarahannya.
Belajar mengambil keputusan

Pada masa kanak-kanak (usia 3-6 tahun), anak belajar mandiri/otonom sesuai dengan kapasitasnya. Ketidakmampuan anak untuk mengatasi kekecewaan akan membuat anak senantiasa berbenturan dengan orang lain karena ia akan memaknai orang lain sebagai penyebab kesulitan atau ketidaknyamanan yang ia hadapi. Hal ini tentunya menciptakan hubungan yang inharmoni dengan orang lain. Namun demikian, hal ini dapat dihindarkan dengan cara mengajarkan anak sejak dini untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan. Dengan begitu, anak memahami bahwa keinginannya tidak harus selalu terpenuhi sebagaimana juga orang lain mengalaminya. Keputusan untuk tidak memenuhi suatu keinginan juga perlu didorong menjadi suatu tindakan yang sadar. Perlahan anak akan siap saat berhadapan dengan rasa kecewa saat salah satu keinginannya tak terpenuhi. Anak pun pada gilirannya memahami bahwa hal tersebut merupakan hasil tindakannya sendiri.
Contoh negosiasi:
Saat anak merengek minta mainan baru, berikan dua pilihan: mainan baru atau hari libur jalan-jalan
Saat anak minta main game, berikan syarat agar ia terlebih dahulu melakukan sesuatu yang positif dan berjanji agar bermain dengan durasi yang dibatasi kemudian anak baru diizinkan main game
Saat anak minta segera dibelikan sepeda, beri pemahaman bahwa beli sepeda menunggu uang terkumpul di awal bulan dan syaratnya anak harus rajin melakukan 'syarat' berupa kegiatan tertentu yang positif
Tahapan mengambil keputusan ini dimulai dari pilihan yang enak vs enak, enak vs tidak enak, hingga tidak enak vs tidak enak.




Tidak ada komentar

wa